Saturday 12 July 2008

Jembatan Cinta Jakarta Selatan

Sepasang high heels hitam mungil menuntun saya menyusuri sebuah jembatan penyeberangan di kawasan Jakarta Selatan. Tas hitam senada yang tergantung di pundak berayun seirama dengan langkah kaki saya. Ada banyak orang berlalu lalang di sana. Pria, wanita, tua, muda, maupun anak-anak, berjalan di atas jembatan yang terbuat dari besi baja. Jembatan itu juga dipenuhi dengan berbagai aktivitas. Ada yang sedang merokok, berjualan, mengobrol, sampai berlari kecil terburu-buru, dan semuanya dilakukan di atas jembatan itu. Uniknya, selama kaki kecil saya bergegas menyusuri kurang lebih 36 meter hamparan besi melayang itu, saya dapat melihat lima jenis cinta.

Cinta pertama yang saya lihat berada di anak tangga ketiga.Jenis cinta itu adalah cinta pada diri sendiri. Saya terjebak di antara pertemuan dua arus. Arus turun dan arus naik. Orang-orang berdesak-sedakan, berebut antara mereka yang mau naik, dan mereka yang hendak turun. Bahu-bahu saling berhimpitan, tidak ada satu pun manusia yang saling melempar senyum. Semuanya berdesak-desak ingin segera naik ataupun turun. Tidak ada yang mau mengalah, apalagi memberikan jalan pada mereka yang berjalan berlawanan. Pemuda-pemudi yang berjalan sambil merokok menambah polusi udara, setelah polusi suara yang timbul akibat bunyi derap langkah kaki para pengguna jembatan penyebrangan yang tidak seirama. Tidak ada yang peduli bahwa sekedar merokok, ataupun meludahkan permen karet dapat merugikan orang di sekitarnya. Yang mereka pedulikan hanyalah bagaimana MENCAPAI TEMPAT TUJUAN.

Akhirnya saya berhasil menaiki tangga tersebut dan sampai di atas jembatan sepanjang 36 meter itu. Tepat di pojok jembatan, ada seorang ibu peminta-minta yang duduk di atas hamparan koran yang sudah lecek halamannya. Di antara lalu lalang orang, Ia duduk tenang menyusui anaknya. Si bayi mungil tampak rakus melahap susu sang Ibu. Tangan si Ibu membelai-belai kepala anaknya, sambil mulutnya mendendangkan sebuah lagu yang sayup-sayup terdengar di telinga saya. Ini juga cinta, pikir saya. Cinta yang teramat besar, yaitu cinta ibu kepada anak.

Sepuluh meter sudah si sepatu hitam membawa saya pergi meninggalkan ibu pengemis dengan bayinya. Saya berjalan melewati lapak-lapak para penjual segala jenis barang. Dari kaos, CD, gambar tempel, poster, perhiasan warna perak dan servis tindik, bikin tato, sampai alat kebutuhan rumah tangga ada. Wah, ada juga orang yang berjualan di atas jembatan, kata saya terkesima dalam hati. Apalagi melihat berbagai jenis barang dan jasa yang ditawarkan, tak pernah sedikit pun terpikirkan oleh saya. Para pedagang itu menawarkan barang dagangannya dengan berbagai cara. Ada yang berteriak-teriak memanggil pelanggan sambil menyebutkan berbagai keunggulan produknya, ada juga yang menulis diskon 50% diatas barang dagangannya. Beberapa ibu-ibu dan gadis muda yang lewat di situ memeluk tas mereka erat-erat. Yah, cinta akan uang, akan barang dan harta yang dimiliki. Cinta itu sama-sama dimiliki baik oleh mereka yang lewat, maupun oleh mereka yang berdagang.

Tepat di tengah-tengah jembatan, saya berpapasan dengan sepasang manusia, pria dan wanita, yang berjalan bergandengan tangan. Mereka saling tersenyum dan saling menatap satu dengan lainnya. Langkah mereka tidak terburu-buru, warna baju cerah yang dikenakan menambah ceria aura pasangan itu. Kecupan kecil mendarat di atas kening sang wanita, dan ia pun tersenyum malu sambil menatap pasangannya. Tanpa banyak berpikir, ya, inilah jenis cinta yang keempat. Cinta pada lawan jenis. Perasaan nyaman yang datang ketika sedang bersamanya, dimana pun kita berada. Saya ingin melemparkan senyum pada pasangan yang berbahagia itu, tapi sepertinya mereka tidak menghiraukan keberadaan saya, mereka asik dengan dunia merah mudanya.

Saya akhirnya sampai di ujung jembatan penyeberangan. Tepat disudut perbatasan antara jembatan dan tangga, seorang bapak tua penjual cermin sedang menata barang dagangannya. Saya melihat bayangan diri saya di cermin itu. Sambil mulai menuruni tangga yang untungnya kali ini tidak disesaki orang, saya baru sadar ada satu jenis cinta lagi yang terdapat di sepanjang jembatan itu. Cinta bertepuk sebelah tangan.=)

(Pernah tersadar, cinta jenis apa yang anda miliki dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat?)

1 comment:

Pingkan Rumondor said...

na.. curhat ya?
awal nya si biasa aja..
tapi endingnya itu lo.. hehheee...
nice nice..
eyecatchy..

:)