Monday 28 July 2008

Deal with a 'Heartbreaker

Have you ever had a heartbreaker? I bet everybody has. And how do you deal with them? Do you leave them? Or revenge them? But what if the heartbreaker is your best friend? What are you gonna do? Will you leave them? Or still make a friend with them?

The biggest broken heart’s moment in my life was made by my best friend. That time, I was having my biggest fear, that was: if my best friend has a girlfriend. Then it happened. That’s how he broke my heart.

I left him with a hope that I would find a new life. But things were not so much better. I couldn’t keep myself thinking about him when I was down. I lost my best friend, but I didn’t lose the feeling. That time I realized that I was running away. I was running away from my biggest fear, from my phobia.

From what I’ve known, we can cure our phobia by doing what we call as ‘little by little’. So, I decided that I want to cure mine. I decided to face my biggest fear instead of run away. And I hope by facing it, it will soon fade away.

So I woke up in the morning and decided to make a friend with my forever heartbreaker: yes, my best friend. I called him and we started our new relationship. Yes, a friendly relation. I talked to him about the feelings I had for him, and he explained me about what was going on back days. It felt releave.

Point one, accomplished. Talked about what’s in your heart for good. I felt no ashamed to tell him all the stupid things I did when I was in my deep depression. Well, he knew my version and that’s how we built our new relation. But what’s next? How could I know if my phobia has cured or not? Well, he has no girlfriend right now, but I’m hoping soon he will. I’d like to check my phobia, but what if it hasn’t cured yet?

I started to ask him out just to meet or catch some movies. We did, but everytime we met, it took me two hours for feeling mello and think about what was going on. I replayed the scenes, and I found I’m still a lil bit in love with him.

I don’t know what this thing people call love, but I gave my heart once to this person (he didn’t ask, I just gave it away) and it’s still in his hand. I think I’m on my way to get it back. I’m just not sure whether I’d taken it back, or I’m taking it back, but I have faith that I will take it back.

Two hours mello is just seen as a progress for me. If it had taken me forever to get over this person, then now it just needs two hours. And plus, I don’t need to get over this lovely person, I just need to accept the situation, and deal with it. How do I deal with it? By facing it and living with it. So dear best friend, whenever you like to have a girlfriend or a wife maybe, I won’t go anywhere. I’m just gonna be there, and face it.
And I think that’s how I will say goodbye to my phobia. =)

Saturday 12 July 2008

Jembatan Cinta Jakarta Selatan

Sepasang high heels hitam mungil menuntun saya menyusuri sebuah jembatan penyeberangan di kawasan Jakarta Selatan. Tas hitam senada yang tergantung di pundak berayun seirama dengan langkah kaki saya. Ada banyak orang berlalu lalang di sana. Pria, wanita, tua, muda, maupun anak-anak, berjalan di atas jembatan yang terbuat dari besi baja. Jembatan itu juga dipenuhi dengan berbagai aktivitas. Ada yang sedang merokok, berjualan, mengobrol, sampai berlari kecil terburu-buru, dan semuanya dilakukan di atas jembatan itu. Uniknya, selama kaki kecil saya bergegas menyusuri kurang lebih 36 meter hamparan besi melayang itu, saya dapat melihat lima jenis cinta.

Cinta pertama yang saya lihat berada di anak tangga ketiga.Jenis cinta itu adalah cinta pada diri sendiri. Saya terjebak di antara pertemuan dua arus. Arus turun dan arus naik. Orang-orang berdesak-sedakan, berebut antara mereka yang mau naik, dan mereka yang hendak turun. Bahu-bahu saling berhimpitan, tidak ada satu pun manusia yang saling melempar senyum. Semuanya berdesak-desak ingin segera naik ataupun turun. Tidak ada yang mau mengalah, apalagi memberikan jalan pada mereka yang berjalan berlawanan. Pemuda-pemudi yang berjalan sambil merokok menambah polusi udara, setelah polusi suara yang timbul akibat bunyi derap langkah kaki para pengguna jembatan penyebrangan yang tidak seirama. Tidak ada yang peduli bahwa sekedar merokok, ataupun meludahkan permen karet dapat merugikan orang di sekitarnya. Yang mereka pedulikan hanyalah bagaimana MENCAPAI TEMPAT TUJUAN.

Akhirnya saya berhasil menaiki tangga tersebut dan sampai di atas jembatan sepanjang 36 meter itu. Tepat di pojok jembatan, ada seorang ibu peminta-minta yang duduk di atas hamparan koran yang sudah lecek halamannya. Di antara lalu lalang orang, Ia duduk tenang menyusui anaknya. Si bayi mungil tampak rakus melahap susu sang Ibu. Tangan si Ibu membelai-belai kepala anaknya, sambil mulutnya mendendangkan sebuah lagu yang sayup-sayup terdengar di telinga saya. Ini juga cinta, pikir saya. Cinta yang teramat besar, yaitu cinta ibu kepada anak.

Sepuluh meter sudah si sepatu hitam membawa saya pergi meninggalkan ibu pengemis dengan bayinya. Saya berjalan melewati lapak-lapak para penjual segala jenis barang. Dari kaos, CD, gambar tempel, poster, perhiasan warna perak dan servis tindik, bikin tato, sampai alat kebutuhan rumah tangga ada. Wah, ada juga orang yang berjualan di atas jembatan, kata saya terkesima dalam hati. Apalagi melihat berbagai jenis barang dan jasa yang ditawarkan, tak pernah sedikit pun terpikirkan oleh saya. Para pedagang itu menawarkan barang dagangannya dengan berbagai cara. Ada yang berteriak-teriak memanggil pelanggan sambil menyebutkan berbagai keunggulan produknya, ada juga yang menulis diskon 50% diatas barang dagangannya. Beberapa ibu-ibu dan gadis muda yang lewat di situ memeluk tas mereka erat-erat. Yah, cinta akan uang, akan barang dan harta yang dimiliki. Cinta itu sama-sama dimiliki baik oleh mereka yang lewat, maupun oleh mereka yang berdagang.

Tepat di tengah-tengah jembatan, saya berpapasan dengan sepasang manusia, pria dan wanita, yang berjalan bergandengan tangan. Mereka saling tersenyum dan saling menatap satu dengan lainnya. Langkah mereka tidak terburu-buru, warna baju cerah yang dikenakan menambah ceria aura pasangan itu. Kecupan kecil mendarat di atas kening sang wanita, dan ia pun tersenyum malu sambil menatap pasangannya. Tanpa banyak berpikir, ya, inilah jenis cinta yang keempat. Cinta pada lawan jenis. Perasaan nyaman yang datang ketika sedang bersamanya, dimana pun kita berada. Saya ingin melemparkan senyum pada pasangan yang berbahagia itu, tapi sepertinya mereka tidak menghiraukan keberadaan saya, mereka asik dengan dunia merah mudanya.

Saya akhirnya sampai di ujung jembatan penyeberangan. Tepat disudut perbatasan antara jembatan dan tangga, seorang bapak tua penjual cermin sedang menata barang dagangannya. Saya melihat bayangan diri saya di cermin itu. Sambil mulai menuruni tangga yang untungnya kali ini tidak disesaki orang, saya baru sadar ada satu jenis cinta lagi yang terdapat di sepanjang jembatan itu. Cinta bertepuk sebelah tangan.=)

(Pernah tersadar, cinta jenis apa yang anda miliki dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat?)

Friday 11 July 2008

Angin Jakarta

Akhir Juni, 2008

Jakarta berangin hari ini. Hembusan anginnya yang membawa debu menerpa wajah saya. Mata saya dimasuki debu-debu halus yang berasal dari jalan raya. Sambil berusaha melindungi mata dari terpaan debu, Saya berlari kecil menyusuri jalan perumahan menuju rumah. Langkah Saya melambat saat melewati kios penjual koran. Rupanya kasus korupsi seorang anggota DPR yang berkenaan dengan prostitusi kembali menjadi sorotan media cetak. Tidak sempat saya baca headlinenya, tapi yang pasti wajah anggota DPR suami penyanyi dangdut itu, terpampang menghiasi cover depan tabloid gosip. Sayup-sayup terdengar di telinga saya lagu romantis berbahasa Indonesia yang sampai saat ini belum diketahui jelas siapa penciptanya. Gosipnya, sang pencipta yang sekaligus menyanyikan lagu tersebut, telah mati bunuh diri karena cinta. Barang siapa yang mendengarkan lagu itu di malam hari, akan menemui ajal, setidaknya begitulah yang saya dengar dari dua orang anak SMA ketika saya sedang mengantri ATM beberapa hari yang lalu.

Sampai di rumah, saya langsung membuka laptop dan memeriksa kotak surat elektronik. Iseng-iseng saya googling lagu pengantar ajal itu. Lebih dari seratus entry yang muncul di layar komputer. Setiap artikel dalam blog sites anak-anak remaja mengatakan hal yang sama tentang lagu itu, bahkan ada yang memberikan kesaksian tentang kebenaran penjemputan ajal setelah mendengarkannya. Situs yang cukup terpercaya menampilkan sebuah artikel yang mengatakan bahwa lagu sederhana itu menjadi terkenal berkaitan dengan unsur cerita mistisnya yang tersebar baik lewat internet, maupun dari mulut ke mulut. CD bajakan yang memuat lagu mistis itu laku keras di pasaran. Menurut sebuah testimonial seorang penjual CD bajakan, dalam sehari Ia berhasil menjual lebih dari 100 keping CD tersebut. Di situs lain, Saya membaca artikel puluhan orang ataupun grup band, yang mengklaim lagu mistis ini sebagai lagu ciptaannya. Gosip di balik lagu cinta tersebut menjadi faktor utama penggerak keberhasilan lagu ini dipasaran, padahal jika kita dengarkan, lagu ini tidak ada bedanya dengan lagu-lagu cinta band manapun juga yang ada di Indonesia. Well, nampaknya angin yang berhembus di Jakarta, tidak hanya membawa debu dan menerpa wajah para pejalan kaki, tetapi juga membawa gosip mistis dan menerpa ratusan calon pembeli CD bajakan lagu mistis yang tidak jelas siapa penciptanya.

Wednesday 9 July 2008

20-an

Tidak ada yang spesial tentang saya hari ini. Semua orang punya kesibukannya masing-masing. Harusnya saya juga, tapi saya lebih memilih untuk tidak sibuk dan bersantai. Saya ingin memanjakan diri, tapi sayangnya konsep manja saya kali ini berhubungan dengan eksistensi orang lain, dan sekali lagi saya katakan: ”semua orang sedang punya kesibukan masing-masing sekarang.” Intinya, kemauan saya untuk bermanja-manja ria tidak bisa terlaksana. Tambah lagi, saya merasa saya berjalan melawan arus. Ketika semua orang sedang sibuk, punya hal-hal lain untuk dikerjakan, saya malah mual dengan segala macam pekerjaan. Saya merasa ingin berhenti dan menikmati hidup, padahal pekerjaan adalah hidup saya selama ini.

Konon, ada di umur 20an bukanlah hal yang mudah. Saya gunakan kata ”konon” karena itu bukanlah line ataupun teori saya. Saya cuma orang yang kena dampak dari teori itu dan pada akhirnya mengutip pernyataan tersebut untuk menjelaskan keadaan diri. Ketika saya merasa tidak lebih beruntung dari orang lain dan merasa eksistensi diri menyusut dengan ketidakhadiran beberapa unsur dalam keseharian saya. Saya seperti melayang dan pura-pura tidak tahu apa yang saya inginkan. Seperti biasa, perkataan para wanita pada teman dekatnya yang wanita pula: “gue gak tahu apa yang gue mau sebenernya.” Dengan gaya bicara yang dibuat sedikit bingung tapi terdengar kuat dan tidak sedang depresi. Masak, orang tidak tahu apa yang mereka mau? Sejak kapan manusia tidak bisa mendengar suara hati mereka yang berteriak-berteriak begitu banyak? Manusia selalu punya keinginan. Meskipun keinginan mereka terkadang begitu banyak dan seringkali bertentangan, tapi setidaknya mereka pasti tahu (at least) satu hal yang mereka inginkan.

Sebagai wanita yang dalam 365hari x 2 menjadi seperempat abad, saya memiliki keinginan untuk bercinta. Bercinta bukan dalam arti hubungan fisik yang mendalam serta super extravaganza bersama seorang lawan jenis (ya, itu juga sih..), tapi bercinta dalam arti memiliki pasangan jiwa, itu yang lebih penting. Kembaran rasa mungkin kata yang lebih tepat, kalau pasangan jiwa terasa cukup berat untuk dikatakan diumur saya yang sekarang ini (setidaknya cukup berat bagi saya yang sulit berkomitmen tingkat tinggi dalam hal berhubungan). Kembaran rasa, ketika kita merasa bahwa selalu ada seseorang yang merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan. Mereka mencoba untuk berempati dan perasaan nyaman itu datang. Perasaan diakui bahwa kita juga memiliki perasaan. Perasaan diakui dan dianggap penting eksistensinya untuk dunia ini. Setidaknya untuk seseorang. Hal-hal itulah yang terkadang melengkapi semen pembangun self-esteem seorang wanita.

Self-esteem saya dipertanyakan untuk sesaat ini. Keadaan tiba-tiba membuat saya merasa diciutkan eksistensinya terhadap dunia. Itu karena semua kembaran rasa saya mungkin sedang sibuk sekarang. See? Ketika saya ingin bermanja ria, mereka sibuk entah kemana, dan jeleknya terkadang mereka datang secara bersamaan dan membuat saya mati bingung untuk memilih. Sibuk mengurusi urusan mereka masing-masing, membuat saya mempertanyakan eksistensi saya disini. Ya, inilah komplikasi pikiran seorang wanita ditengah umur 20-an. Kembali lagi saya katakan, konon berada di usia 20an tidak mudah, dan lagi-lagi saya hanya seseorang yang terkena dampak darinya dan mengutip kalimat tersebut untuk menjelaskan keadaan diri.

Get A Toy!

Is having a man perfect for a woman’s life?

I used not to think so until I realize all of my friends have one and they get busy with that. I find myself as a loner. For simple thing, they can’t just being there like they did. They can’t talk for some hours on the phone, go for some coffee time, or shopping. Not that bad actually, but we have to set up the times for sure. It’s not just a simple spontaneous lovely thing anymore. Do they lose their spontaneous, or they just do it with other people right now?

Well I was enjoying my single life, and now, I think I’m still enjoying it fifty percent. It’s just somehow I feel I need my friends to enjoy these craziness, and they can’t be there. But why do I have to depend on them? Can’t I enjoying it myself? K, that’s the point, I think I should find myself a boyfriend. Well not exactly, but at least a new toy. “Toy” I mean. Wasn’t it what you did when you’re a little? When you got no friends, alone, you just go and play with your toy. It could be a doll, a skipping rope, or a swing in your backyard. Well this time, I just need a toy. Get no friends around me, I think I’m going to find myself a ‘toy’ whom I can treat like a doll, make me sweat like a jumping rope, and who can make me ‘almost fly’ like a swing.

The question is, why do I prefer find a toy instead of a man, a boyfriend? I Think just find one just like my friends do, but it’s not that simple, considering finding a boyfriend for me, is same like finding a perfect shoes. He must look good on you, fit in you, has good materials, and the most important thing, he doesn’t hurt your feet. Right, now I’m telling you. In this big city just like Jakarta, whom everyone says just never sleeps, sometimes those twentieth something guys sleep or are in coma so they can’t see us ladies, single ladies. Some of them are taken, some of them spend their time with the wrongs ones, and some of them are just made to be a gay, our best friend, and the rest, they just being so chicken to face a life. So, while we’re sight seeing and waiting for them to wake up, why bother find a toy to entertain ourselves and to kill time. So whatcha’ prefer, just wait, or go find a toy? It might be interesting.